
"Penjualan pita cukai sekarang melalui Kantor Bea
Cukai, menggunakan sistem kuota. Sehingga, sangat menyulitkan bagi pengolah
tembakau berkapasitas kecil," ujar Tisna seorang perajin kepada “SJ”.
Kondisi tersebut, menurutnya, berdampak pada banyaknya
pengusaha tembakau olahan (kemasan) yang gulung tikar. Bahkan, kata dia, sanksi
tegas berupa denda uang ratusan hingga miliaran rupiah, tentu saja membuat
pengusaha tembakau kemasan yang tidak memakai pita cukai miris dan ketakutan.
"Petani tembakau di Sukasari dan Tanjungsari berjumlah
ribuan. Jumlah tersebut, termasuk diantaranya petani yang masuk kelompok tani
dan yang belum bergabung. Jia dibiarkan dan tanpa ada angin segar dari pemerintah,
tidak mustahil banyak yang berhenti menjadi perajin tembakau," ungkapnya.
Di sisi lain, belakangan ini, produtivitas perajin semakin
terhambat persoalan modal. Pendapatan
mereka tidak seimbang dengan biaya produksi yang dikeluarkan. "Harga jual
tembakau olahan terbilang murah, sekitar Rp 200 ribu per ikatnya," kata
Jaja Ujis (39), seorang pengolah tembakau warga Desa/Kecamatan Sukasari .
Padahal, mereka
memperoleh daun tembakau dari wilayah lain, yakni Majalengka dan Kadipaten.
Dibelinya pun mahal, rata-rata Rp 800 ribu per kuintalnya.
Mestinya, kata dia, di Sukasari petani setempat banyak yang
menanam tembakau karena sudah menjadi kawasan agrowisata. Kenyataannya, warga
Sukasari tak banyak yang menanam tembakau sehingga perajin harus mencarinya
hingga ke Majalengka dan Kadipaten atau kawasan Sumedang lainnya. (SJ-2)***
Posting Komentar